Suram
Cahaya bulan malam ini tampak kusam
terselimut mendung. Kilat-kilat mengerikan terlihat menyala-nyala di
baliknya, membuat suasana terasa begitu suram. Rani, terdiam penuh cemas
memandang mega-mega itu dari teras rumahnya, sementara rasa khawatir akan seseorang
terus mengusik hatinya.
Suami yang dicinta telah seminggu
lamanya pergi mengemban tugas menyelamatkan desa. Menurut kabar warga, mereka
yang pergi bertugas akan kembali malam ini. Namun, hingga hari telah
larut, tiada satu kabar pun tentangnya kunjung terdengar.
Hingga lama dinanti, akhirnya
serombongan warga desa terlihat di kejauhan. Mereka berjalan membawa obor serta
lentera untuk penerangan jalan. Namun yang mencengangkan, beberapa dari rombongan itu terlihat mengalami luka-luka yang parah. Bahkan, salah seorang dari mereka
terlihat ditandu karena tak mampu berjalan.
Dengan khawatir, Rani segera berlari
menghampiri rombongan tersebut. Dicarinya, apakah sang suami tercinta bersama dengan mereka atau tidak. Sayangnya, sejauh penglihatan, sama sekali
tak iatemukan sosok pria tersebut di sana.
Dengan perasaan cemas, ia lantas
bertanya pada salah seorang dari rombongan, "Pak, di mana suamiku?"
Seorang pria tua yang iatanyai
berhenti berjalan seraya menoleh menatapnya. Dipandangnya wajah cemas Rani
dengan raut sedih. "Ia gugur, Nduk. Semuanya gugur."
Bak tersambar petir yang sedang menggelegar di langit, Rani terperangah, tak mampu ia menerima apa
yang baru saja didengar. "I-Itu tidak mungkin kan, Pak?"
"Yang sabar ya, Nduk. Ternyata
kita semua tidak mampu membinasakan makhluk itu. Lihatlah! Hanya kami yang
tinggal sedikit ini yang tersisa. Desa ini benar-benar sudah dikutuk. Kita
semua berduka, Nduk. Banyak warga yang juga kehilangan kepala keluarganya saat
ini, sepertimu. Doakanlah suamimu, dan juga rekan-rekan yang telah gugur
bersamanya! Saya lelah, Permisi."
Sang pria tua segera berlalu
mengikuti rombongannya. Sementara Rani terdiam di tempatnya dengan perasaan
yang sangat terguncang, bergemetar seluruh tubuhnya hingga ia jatuh, terduduk di
tanah yang dingin dengan linangan air mata. Tak mampu batinnya untuk dapat menerima
kenyataan harus kehilangan sang terkasih yang dicinta.
Dalam tangisnya yang teramat
pedih saat ini, bayang-bayang sang suami seketika tergambar jelas di
benaknya. Senyuman manis pria tersebut, kata-kata mesranya, setiap perlakuan
yang diberikannya dulu, kini tidak akan lagi menghiasi hari-hari Rani. Hujan
yang sekarang mulai mengguyur tubuh kurusnya itu, akhirnya turut mengiringi
tangis kesedihan yang meraung begitu keras.
Malam ini, benar-benar menjadi
malam yang suram. Bahkan, tersuram bagi Rani.
Komentar
Posting Komentar