Kamisan #1 Season 3 : Wanita Berpayung Biru

Mendung pekat sudah datang, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Aku lekas beranjak dari ruang kerjaku, pergi ke cafe depan kantor dan langsung menempati salah satu meja di dekat jendela yang mengarah ke jalan.

Ah, akhirnya hujan yang kunanti mulai turun. Bersamaan dengan itu secangkir cappuccino yang telah kupesan juga datang, aku lekas meneguknya perlahan-lahan. Tahukah kau, menikmati kelezatan secangkir kopi yang manis dan hangat, sembari memandangi hujan yang menenangkan hati seperti ini, sungguh luar biasa sekali rasanya. Hal ini selalu bisa membuat pikiranku  seakan-akan terbebas dari segala beban, dan tentunya menjadikanku begitu santai.

Namun tidak cuma itu, hujan juga selalu memberi lebih banyak hal menyenangkan yang membuatku bahagia. Salah satunya yang paling membuatku begitu senang ketika hujan turun adalah, melihat wanita berpayung biru dari rumah kos tua sebelah yang berdiri di luar sana. Dia begitu cantik dan sangat memesona. 

Wanita itu sama sepertiku yang sangat menyukai hujan. Setiap kali hujan turun, baik deras ataupun tidak, wanita berpayung biru itu selalu muncul di depan rumah kosnya sembari berdiri menikmati hujan di tepian jalan. Ah, andai kau tahu betapa lucunya dia ketika sedang bermain-main dan tersenyum bahagia dengan hujan di luar sana, sungguh menyenangkan sekali melihatnya seperti itu. Inilah alasan mengapa aku selalu pergi ke cafe ini dan duduk di dekat jendela ketika hujan turun, ya, supaya aku bisa melihatnya di sana dengan jelas. 

Sudah lama sebenarnya aku memperhatikan wanita itu. Namun hingga saat ini aku  belum juga mengenalnya lebih jauh. Aku sendiri jarang melihatnya keluar dari rumah kos tua itu selain di saat hujan turun. Dia hanya tampak keluar untuk membeli makanan atau membuang sampah ketika hujan tidak turun. Yah, kurasa aku benar-benar perlu waktu yang tepat jika ingin berkenalan dengannya.

Hujan kini telah berhenti, tepian jalan mulai ramai kembali dengan orang-orang yang berlalu lalang. Wanita itu menutup payungnya, kemudian tersenyum menatap langit seolah berterima kasih kepada Tuhan yang telah menurunkan hujan untuknya. Ah, dan inilah saat-saat yang tidak aku sukai. Dia pasti akan segera masuk ke dalam rumah kosnya kembali, menggugurkan rasa bahagiaku melihatnya seiring kepergiannya dari tempat itu. Aku benar-benar berharap hujan turun kembali, tapi tentu saja hujan tidak akan mengabulkannya. 

Aku meneguk sisa cappuccino terakhir di cangkirku, mengakhiri suasana santai kali ini untuk segera kembali bekerja. Namun hal yang mengejutkan tiba-tiba terjadi. Dia, wanita berpayung biru itu, kulihat dia menoleh ke arahku, memberikan senyuman tanda sapanya kepadaku. Aku terkejut sekali hingga tersedak oleh minumanku sendiri melihatnya. Aku terdiam tak menyangka, jantungku berdebar kencang. Pikiranku mulai bertanya-tanya, apakah dia benar sedang melihat ke arahku? Apakah dia tahu bahwa aku memperhatikannya? Oh Tuhan. Benarkah dia menyadariku?

 Tak lama kemudian dia berbalik dan berjalan menuju rumah kosnya. Dengan segera aku beranjak dari tempatku, dan berlari keluar dari cafe itu untuk menghampirinya. Tapi sayang, Dia sudah tidak ada di sana. Dia sudah menghilang, masuk ke dalam rumah kos tuanya. Aku hanya berdiri diam menatap rumah tua itu dengan rasa kecewa. Namun senyum simpul tersungging di mulutku, teringat akan senyumnya yang baru saja dia berikan padaku. Ah, aku harap esok hujan turun kembali. Dan di saat itu aku akan menemuinya di tempat ini. ya, di sini, aku akan menemuimu.


***

Sesuai harapanku, hujan turun hari ini. Aku sudah berdiri di tepi jalan dekat rumah kos tua di mana wanita itu tinggal. Dengan payung abu-abu terkembang yang melindungi tubuhku dari derasnya hujan, aku menunggunya di luar, berharap dia muncul dari balik pintu rumah itu. Ah, tak sabar sekali aku bertemu dengannya. Setelah dia menyadariku dan menyapaku dari tempat ini kemarin, kurasa aku bisa mengajaknya berkenalan secara dekat sekarang.

Namun cukup lama aku menunggu, entah mengapa dia tak juga keluar dari sana. Aku merasa aneh dan agak khawatir dengannya, ini tidak seperti biasanya. Ke mana dia? kenapa dia tidak juga muncul? Apa dia sedang tidak sehat sekarang? Hingga hujan mulai reda dan menyisakan gerimis kecil yang berjatuhan, dia masih tak kunjung keluar dari dalam rumah kos tua itu. 

Ah, kali ini aku benar-benar merasa begitu khawatir, pasti sesuatu sedang terjadi padanya. Kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah kos itu untuk mencari tahu tentangnya. Kuketuk pintu berwarna merah pudar rumah itu, dan tak lama seorang kakek tua membukanya dari dalam.

¨Selamat siang.¨ Aku menyapanya dengan sopan.

¨Siapa kau? Apa kau mau tinggal di sini?¨ Ia bertanya padaku tanpa membalas sapaku.

¨Tidak, maaf. Saya ingin menemui sesorang yang tinggal di sini, bolehkah saya masuk?¨

¨Ada apa?¨ Kekek itu tampak curiga melihatku.

¨Saya ingin bertemu dengan wanita muda yang sering berdiri di depan rumah ini dengan payung biru. Hari ini, tidak seperti biasanya dia tidak kelihatan di saat hujan turun seperti ini. Apa dia sedang sakit? Apa saya bisa bertemu dengannya? Saya merasa khawatir dengannya.¨

¨Apa kau sudah gila? Tidak ada yang tinggal di rumah ini selain aku.¨

Aku sangat terkejut mendengar ucapan kakek tua itu. ¨Apa maksud anda? Bukankah ada seorang wanita yang tinggal di sini, yang selalu keluar di saat hujan turun? Aku tidak mungkin salah lihat, karena dia sering kali berada di depan rumah ini.¨

¨Apa yang kau maksud adalah Diana, putriku?¨

¨Oh, jadi dia putri anda. Bagaimanakah kabarnya, Pak? Apa dia baik-baik saja?¨

¨Dia sudah meninggal satu tahun lalu.¨ 

Bak tersambar oleh petir aku benar-benar terkejut bukan main mendengarnya, ¨Apa? Meninggal? Apa maksud anda, Pak?¨

¨Kurasa sudah jelas yang kukatakan. Dia sudah meninggal. Dia memang suka bermain hujan di luar ketika semasa hidupnya. Tapi itu membuat penyakit yang dideritanya bertambah parah, hingga akhirnya dia memninggal.¨

Aku terdiam tak menyangka dengan apa yang kudengar. Bagaimana mungkin wanita yang yang selama ini kulihat dan kukagumi sudah meninggal? Lantas siapa yang kulihat setiap kali hujan turun itu? Tidak, kurasa ini tidak mungkin. 

¨Pak, ini tidak benar, kan? Bagaimana mungkin orang yang selama ini kulihat ternyata sudah meninggal. Lantas apa yang kulihat selama ini? Hantu?¨

Kakek tua itu terdiam menatapku hingga kemudian ia mulai bertanya, ¨Nak, apakah kau mencintai anakku?¨

Aku terkejut mendengar petanyaannya. ¨A-Aku...¨

¨Jawablah dengan jujur.¨

Aku yang bingung harus menjawab apa tertunduk dengan perasaan malu. Namun aku tidak bisa membohonginya. Dengan tegar aku mengangkat kembali kepalaku dan mengutarakan  perasaanku yang sebenarnya, ¨Ya, aku mencintainya. Aku sudah menyukainya sejak lama, Pak.¨

Kakek tua itu tersenyum, lantas mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Dia mempersilakanku duduk di sofa tamu miliknya dan pergi untuk membuatkan minuman untukku. Kini aku duduk sendirian di sofa itu, memperhatikan ruang di sekelilingku, dan kulihat foto Kakek tua itu bersama putrinya, si wanita berpayung biru terpajang di dinding depanku. 

¨Dia sangat cantik, bukan?¨ Kakek itu datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring kue basah yang kemudian diletakkannya di atas meja. 

¨Eh, i-iya, dia sangat cantik.¨ jawabku agak tersipu.

¨Kau tahu, meski dia sangat cantik, tapi karena penyakitnya dia dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan penyewa kamar di rumah ini semuanya pergi setelah mengetahui anakku mengidap penyakit berbahaya. Dalam beberapa tahun, putriku selalu merasa kesepian. Tidak ada yang menyukainya. Entah jika dia masih hidup apakah kau akan tetap menyukainya atau akan menjauhinya.¨

Mendengar cerita kakek tua itu, aku merasa sedih. Tak kusangka, jadi wanita yang selama ini kulihat benar-benar sudah tiada. Hatiku benar-benar sangat terpukul mengetahuinya. ¨Aku turut sedih mendengarnya, Pak. Tapi jika kau bertanya apakah aku akan tetap mencintainya meski dia memiliki penyakit berbahaya itu, jawabannya adalah ya. Aku pasti akan tetap mencintainya.¨

Kakek tua itu tersenyum senang mendengar jawabanku, ¨Itu berarti, sama saja kau rela mati demi putriku?¨

¨Ya, tentu saja. Karena aku sangat mencintainya.¨ Jawabku dengan yakin.

¨Senang sekali mendengarnya. Andai putriku masih hidup, dia pasti akan sangat senang denganmu. Tapi sayang sekali, ya." Kakek itu tampak sangat sedih mengingat tentang putrinya. Kurasa, kedatanganku kemari telah membuka kenangan tak menyenangkan di rumah ini kembali. Hal ini membuatku merasa sangat bersalah.

¨Ah, ya, silakan kau minum kopi itu. Dan cobalah kue-kuenya. Daritadi kau belum mencicipinya sama sekali.¨ 

¨Oh, terima kasih.¨ Dengan segera kuteguk kopi di hadapanku itu. Kurasakan, ternyata sangat enak. ¨Wah, kopi ini luar biasa sekali.¨

¨Syukurlah jika kau suka.¨ Kakek itu merasa senang dan turut meneguk kopi miliknya bersamaku.

Namun, aku merasa aneh dengan kondisiku. Tiba-tiba saja kepalaku terasa sangat pusing, dan jantungku berdebar begitu cepat, hingga keringat dingin keluar dari tubuhku. Aku merasa sangat limbung dan lemas sekali, semua terasa sakit. Apa yang terjadi denganku?

¨Nak, kau mengatakan bahwa kau sangat mencintai putriku dan rela mati untuknya.¨ Kakek tua itu berbicara kepadaku tanpa merasa aneh melihatku yang sedang kesakitan. ¨Apa kau tahu, ketika mendengar hal itu putriku sangat senang sekali? Dia juga sangat mencintaimu. Selama ini dia selalu kesepian, tapi syukurlah ada pria yang mencintainya sekarang. Dia sangat bahagia. Jadi, kau pasti mau menemani putriku yang sedang kesepian di alam sana, kan? Kau ingin bersamanya, kan? Karena kau bilang, kau rela mati untuknya. jadi, sekarang aku telah merestui kalian berdua. Pergilah kau kepadanya. Bahagiakan dia di sana. Jangan kau kecewakan dia, nak. Selamat jalan.¨

Ini gila, tubuhku tidak kuat lagi. Aku terjatuh di atas sofa yang kududuki, meronta merasakan kesakitan yang tak tertahankan. Dan samar-samar aku melihat, wanita itu muncul di samping sang kakek tua, dia tampak tersenyum ke arahku. Apa sebentar lagi aku akan menyusulnya? Benarkah ini yang kuinginkan? Ah, sial.



TAMAT





Komentar

  1. Saranku, jangan mengulang informasi yang sama terus-menerus, atau kata yang sama terus menerus, itu akan membuat pembacamu bosan.

    BalasHapus
  2. Btw kotak komentarnya udah berubah ya. Tadinya mau komen pas masih pake plugin FB. < komentar ga penting XD

    Sori baru sempet komen sekarang, hehe. Bagus ini bil, doubletwistnya. Pembukanya juga bagus, gimana si aku menggambarkan hujan dan perasaannya tersampaikan dengan baik.

    Emang sih twist yang pertama mudah ditebak, tapi menariknya ini nggak berhenti sampai sana. Pas sadar gue baca ternyata emang baru di tengah-tengah. Si aku yang langsung menyatakan rela mati pun nggak lebay karena perasaannya emang tersampaikan ke pembaca.

    Saran gue sih waktu si kakek ngasih tau maksud sebenernya dari kopinya, coba si aku ada respon sesekali. Jadi nggak cuma si kakek yang porsi ngomongnya banyak. Biar tension-nya lebih kebangun gitu. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh ya, ada film yang namanya Kotonoha no Niwa, udah nonton? Ceritanya tentang hujan. Inget film itu pas baca ini. XD Kalo belum coba nonton deh, mood-nya asik itu.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simian (Episode 1)

Suram

Kamisan #6 Season 3 : Flashdisk Terkutuk