Kamisan #2 Season 3 : Suamiku
Tidak biasanya suamiku sangat perhatian begini. Sedari subuh, sepulangnya dari melaut, tak henti-hentinya dia bersikap sangat manis padaku. Coba saja lihat, dia menjadi sangat murah senyum dan juga begitu perhatian padaku. Padahal sebelumnya, dia selalu bersikap tidak acuh dan datar.
Seperti yang terjadi sekarang, sepulangku dari berbelanja, dengan tumbennya suamiku mau membantuku memasak di dapur. Yang biasanya segala urusan di dapur selalu kukerjakan sendiri, kini suamiku lebih banyak membantuku. Lihat saja, dengan sigap suamiku menyalakan api pada tungku untukku memasak. Dia juga mencucikan daging untukku dan menumbukkan rempah-rempah. Tidak ketinggalan, dia turut pula membantuku memotong sayuran dan mengambilkan segala bahan serta peralatan yang kuperlukan. Semua yang dia lakukan itu sungguh tidak seperti biasanya. Hal ini membuatku heran dan bertanya-tanya, ada apa dengannya hari ini?
Di jam-jam seperti ini, suamiku biasanya tertidur pulas hingga siang hari menjelang setelah lelah melaut semalaman. Tetapi entah mengapa, hari ini dia terlihat begitu aktif dan sangat ceria sekali. Sedari tadi dia begitu sibuk melakukan berbagai pekerjaan rumah yang jarang dia kerjakan. Mulai dari mencuci pakaian yang sudah menumpuk, membersihkan halaman rumah, hingga membetulkan atap yang lama tidak dia betulkan. Padahal, biasanya dia juga sangat tidak acuh pada hal-hal seperti ini, tapi sekarang dia begitu rajin dan perhatian terhadap masalah rumah.
Meskipun cukup merasa aneh dengan sikap dan tingkahnya ini, tapi aku cukup senang melihatnya. Sebenarnya, sosoknya yang seperti inilah yang kurindukan darinya. Sosok yang acuh dan perhatian terhadap keadaan rumah tangganya, seperti kala kami pertama membina rumah tangga ini dulu. Dan akhirnya, sekarang aku bisa merasakan kembali sosok suamiku yang seperti itu.
Makanan yang telah kumasak kini telah matang dan kuhidangkan di atas meja. Suamiku datang dan duduk di sampingku. Kuambilkan sepiring nasi untuknya, dan dia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum manis ke arahku. Aku cukup terperanjat mendengarnya, itu adalah ucapan yang jarang sekali kudengar, kenapa gaya bicaranya tiba-tiba menjadi ramah seperti itu?
Aku mengambil piring lagi, dan hendak mengambil nasi untukku sendiri. Namun suamiku tiba-tiba menahanku dan menyuruhku duduk seraya menaruh piringku kembali. Aku bingung, tapi aku menurutinya. Dengan senyum yang terkembang dia berkata dengan lembut, bahwa dia ingin makan sepiring berdua bersamaku. Aku terkejut sekali mendengarnya. Apa maksudnya? Dia mengungkapkan bahwa dia merasa rindu sekali merasakan saat-saat intim bersamaku.
Meski merasa aneh mendengarnya, tapi sebagai istri aku harus menurutinya. Kami berdua pun mulai makan bersama dengan piring yang sama tersebut, dan suamiku mulai menyuapkan sesendok nasi serta lauknya ke arahku. Entah mungkin karena tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti ini, aku merasa cukup malu hingga tersipu-sipu hanya untuk melahap makanan yang dia suapkan dengan perlahan itu. Suamiku hanya tertawa melihatku sembari mengusap sisa makanan di bibirku, aku pun turut tertawa malu dengan mulut yang sesekali mengunyah makanannya.
Melihat tingkah kami yang tidak biasa ini, nuansa di rumah inipun mulai berubah. Suasana hangat dan mesra antara kami berdua mulai tercipta di siang hari yang cerah ini. Rasa aneh ini mulai memudar, berganti dengan perasaan nyaman yang indah dan membahagiakan.
Matahari telah tenggelam di kejauhan, dan menyisakan rona jingga di langit yang menandakan waktu senja telah datang. Inilah saatnya bagi suamiku untuk bersiap mencari ikan di lautan malam. Aku membantunya menyiapkan segala peralatan yang dia perlukan, termasuk bekal untuk menemaninya bekerja.
¨Mas, ini bekalmu.¨ Aku menyerahkan bekal dan peralatan-peralatan yang kubawa itu pada suamiku.
¨Terima kasih ya, Istriku.¨
Mendengar ungakapan terima kasih yang manis itu aku langsung merasa tersipu. ¨Ih, tumben pakai kata ´istriku´. Hari ini kenapa sih kamu bersikap begitu romantis, Mas? Biasanya juga kamu tidak acuh sama aku.¨
¨Ah, kata siapa. Itu cuma perasaanmu saja.¨ Suamiku mengelak. ¨Aku kan cuma ingin menyanjung istri yang sudah membantuku, memangnya itu aneh?¨
¨Terserahlah, Mas. Dasar kamu memang gak pernah mau ngaku. Menyebalkan.¨
Suamiku hanya tertawa mendengar keluhanku itu.
Setelah semua yang dibutuhkannya untuk melaut siap, suamiku segera menghampiriku untuk berpamitan. Namun sungguh tak kuduga, dengan tiba-tiba dia memelukku begitu erat, seraya berbisik dengan lirih di telingaku.
¨Aku pergi dulu ya, Istriku. Jaga dirimu baik-baik, ya. Maaf, jika aku belum bisa memberimu kebahagiaan selama ini. Meski mungkin selama ini aku banyak melakukan kesalahan dan membuatmu kesal, tapi rasa sayangku kepadamu ini tidak pernah hilang sedikitpun. Aku selalu mencintaimu, Istriku. Aku selalu mencintaimu.¨
Mendengar ungkapannya itu, hatiku tiba-tiba bergetar hebat. Air mataku terasa menetes dalam dekapan suamiku yang kian erat.
¨kenapa kamu berkata begitu, Mas? Aku pun juga mencintaimu. Dan meski kamu sering membuatku kesal, tapi cintaku juga tidak pernah pudar kepadamu.¨
¨Benarkah? Syukurlah jika begitu. Aku merasa senang sekali mendengarnya.¨
Entah mengapa aku merasa tidak ingin terlepas dari pelukan hangat ini. Aku merasa tidak ingin suamiku pergi untuk malam ini saja. Aku ingin dia menemaniku semalaman ini. Tapi keinginan itu tidak bisa terucap. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan ini. Menangis di bawah langit malam yang mulai gelap, seiring menghilangnya sang rona jingga senja di kejauhan sana.
Hingga akhirnya, suamiku melepas dekapannya padaku. Dia memandangiku dengan tatapan sendu. Aku pun turut membalas tatapan itu dengan senyuman.
¨Hati-hati ya, Mas. Jaga diri baik-baik. Aku selalu menunggumu di sini.¨
¨Terima kasih, ya, Istriku. Aku pergi dulu.¨
Suamiku mengecup keningku dengan sangat lembut sebelum akhirnya dia mulai berangkat membawa perahunya ke lautan. Aku hanya bergeming di tempatku, memandang suamiku yang tampak semakin menjauh hingga menghilang di balik laut malam yang gelap.
Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak seiring kepergiannya itu. Aku memikirkan apa yang dikatakan olehnya tadi ketika berpamitan. Aku merasa bahwa ungkapan itu adalah pertanda bahwa suamiku akan pergi untuk selamanya, meninggalkanku sendiri. Tapi tentu aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak seperti itu. Aku harusnya berdoa agar suamiku selamat dalam pekerjaannya, dan pulang dengan membawa senyum hangat seperti tadi pagi.
Aku pun segera berbalik untuk kembali pulang ke rumah. Namun sebelum aku melangkah dari tempat ini, kulihat beberapa warga sekitar berjalan membawa sesuatu menuju ke arahku. Aku bingung melihatnya. Hingga akhirnya mereka berteriak ke arahku dengan panik.
¨Bu Ahmad! Bu! Ini Pak Ahmad!¨
Suamiku? Ada apa mereka menyebut nama suamiku? Aku bingung mendengar teriakan mereka. Hingga akhirnya aku beranjak menghampiri mereka dan mendapati sesuatu yang mengguncangkan jiwaku.
¨Apa ini? Bagaimana bisa?¨ Aku terkejut melihat apa yang dibawa oleh para warga tersebut di hadapanku. Jenazah suamiku yang sudah tidak bernyawa. Ya, dia ditemukan tewas dan terdampar oleh mereka di pantai sebelah selatan beserta perahunya yang hancur. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Bukankah suamiku baru saja pergi? Bagaimana mungkin tiba-tiba dia bisa tewas dan terdampar dengan cepat di tempat yang jauh? Lantas, siapa yang bersamaku tadi?
Seperti yang terjadi sekarang, sepulangku dari berbelanja, dengan tumbennya suamiku mau membantuku memasak di dapur. Yang biasanya segala urusan di dapur selalu kukerjakan sendiri, kini suamiku lebih banyak membantuku. Lihat saja, dengan sigap suamiku menyalakan api pada tungku untukku memasak. Dia juga mencucikan daging untukku dan menumbukkan rempah-rempah. Tidak ketinggalan, dia turut pula membantuku memotong sayuran dan mengambilkan segala bahan serta peralatan yang kuperlukan. Semua yang dia lakukan itu sungguh tidak seperti biasanya. Hal ini membuatku heran dan bertanya-tanya, ada apa dengannya hari ini?
Di jam-jam seperti ini, suamiku biasanya tertidur pulas hingga siang hari menjelang setelah lelah melaut semalaman. Tetapi entah mengapa, hari ini dia terlihat begitu aktif dan sangat ceria sekali. Sedari tadi dia begitu sibuk melakukan berbagai pekerjaan rumah yang jarang dia kerjakan. Mulai dari mencuci pakaian yang sudah menumpuk, membersihkan halaman rumah, hingga membetulkan atap yang lama tidak dia betulkan. Padahal, biasanya dia juga sangat tidak acuh pada hal-hal seperti ini, tapi sekarang dia begitu rajin dan perhatian terhadap masalah rumah.
Meskipun cukup merasa aneh dengan sikap dan tingkahnya ini, tapi aku cukup senang melihatnya. Sebenarnya, sosoknya yang seperti inilah yang kurindukan darinya. Sosok yang acuh dan perhatian terhadap keadaan rumah tangganya, seperti kala kami pertama membina rumah tangga ini dulu. Dan akhirnya, sekarang aku bisa merasakan kembali sosok suamiku yang seperti itu.
***
Makanan yang telah kumasak kini telah matang dan kuhidangkan di atas meja. Suamiku datang dan duduk di sampingku. Kuambilkan sepiring nasi untuknya, dan dia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum manis ke arahku. Aku cukup terperanjat mendengarnya, itu adalah ucapan yang jarang sekali kudengar, kenapa gaya bicaranya tiba-tiba menjadi ramah seperti itu?
Aku mengambil piring lagi, dan hendak mengambil nasi untukku sendiri. Namun suamiku tiba-tiba menahanku dan menyuruhku duduk seraya menaruh piringku kembali. Aku bingung, tapi aku menurutinya. Dengan senyum yang terkembang dia berkata dengan lembut, bahwa dia ingin makan sepiring berdua bersamaku. Aku terkejut sekali mendengarnya. Apa maksudnya? Dia mengungkapkan bahwa dia merasa rindu sekali merasakan saat-saat intim bersamaku.
Meski merasa aneh mendengarnya, tapi sebagai istri aku harus menurutinya. Kami berdua pun mulai makan bersama dengan piring yang sama tersebut, dan suamiku mulai menyuapkan sesendok nasi serta lauknya ke arahku. Entah mungkin karena tidak terbiasa mendapat perlakuan seperti ini, aku merasa cukup malu hingga tersipu-sipu hanya untuk melahap makanan yang dia suapkan dengan perlahan itu. Suamiku hanya tertawa melihatku sembari mengusap sisa makanan di bibirku, aku pun turut tertawa malu dengan mulut yang sesekali mengunyah makanannya.
Melihat tingkah kami yang tidak biasa ini, nuansa di rumah inipun mulai berubah. Suasana hangat dan mesra antara kami berdua mulai tercipta di siang hari yang cerah ini. Rasa aneh ini mulai memudar, berganti dengan perasaan nyaman yang indah dan membahagiakan.
***
Matahari telah tenggelam di kejauhan, dan menyisakan rona jingga di langit yang menandakan waktu senja telah datang. Inilah saatnya bagi suamiku untuk bersiap mencari ikan di lautan malam. Aku membantunya menyiapkan segala peralatan yang dia perlukan, termasuk bekal untuk menemaninya bekerja.
¨Mas, ini bekalmu.¨ Aku menyerahkan bekal dan peralatan-peralatan yang kubawa itu pada suamiku.
¨Terima kasih ya, Istriku.¨
Mendengar ungakapan terima kasih yang manis itu aku langsung merasa tersipu. ¨Ih, tumben pakai kata ´istriku´. Hari ini kenapa sih kamu bersikap begitu romantis, Mas? Biasanya juga kamu tidak acuh sama aku.¨
¨Ah, kata siapa. Itu cuma perasaanmu saja.¨ Suamiku mengelak. ¨Aku kan cuma ingin menyanjung istri yang sudah membantuku, memangnya itu aneh?¨
¨Terserahlah, Mas. Dasar kamu memang gak pernah mau ngaku. Menyebalkan.¨
Suamiku hanya tertawa mendengar keluhanku itu.
Setelah semua yang dibutuhkannya untuk melaut siap, suamiku segera menghampiriku untuk berpamitan. Namun sungguh tak kuduga, dengan tiba-tiba dia memelukku begitu erat, seraya berbisik dengan lirih di telingaku.
¨Aku pergi dulu ya, Istriku. Jaga dirimu baik-baik, ya. Maaf, jika aku belum bisa memberimu kebahagiaan selama ini. Meski mungkin selama ini aku banyak melakukan kesalahan dan membuatmu kesal, tapi rasa sayangku kepadamu ini tidak pernah hilang sedikitpun. Aku selalu mencintaimu, Istriku. Aku selalu mencintaimu.¨
Mendengar ungkapannya itu, hatiku tiba-tiba bergetar hebat. Air mataku terasa menetes dalam dekapan suamiku yang kian erat.
¨kenapa kamu berkata begitu, Mas? Aku pun juga mencintaimu. Dan meski kamu sering membuatku kesal, tapi cintaku juga tidak pernah pudar kepadamu.¨
¨Benarkah? Syukurlah jika begitu. Aku merasa senang sekali mendengarnya.¨
Entah mengapa aku merasa tidak ingin terlepas dari pelukan hangat ini. Aku merasa tidak ingin suamiku pergi untuk malam ini saja. Aku ingin dia menemaniku semalaman ini. Tapi keinginan itu tidak bisa terucap. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan ini. Menangis di bawah langit malam yang mulai gelap, seiring menghilangnya sang rona jingga senja di kejauhan sana.
Hingga akhirnya, suamiku melepas dekapannya padaku. Dia memandangiku dengan tatapan sendu. Aku pun turut membalas tatapan itu dengan senyuman.
¨Hati-hati ya, Mas. Jaga diri baik-baik. Aku selalu menunggumu di sini.¨
¨Terima kasih, ya, Istriku. Aku pergi dulu.¨
Suamiku mengecup keningku dengan sangat lembut sebelum akhirnya dia mulai berangkat membawa perahunya ke lautan. Aku hanya bergeming di tempatku, memandang suamiku yang tampak semakin menjauh hingga menghilang di balik laut malam yang gelap.
Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak seiring kepergiannya itu. Aku memikirkan apa yang dikatakan olehnya tadi ketika berpamitan. Aku merasa bahwa ungkapan itu adalah pertanda bahwa suamiku akan pergi untuk selamanya, meninggalkanku sendiri. Tapi tentu aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak seperti itu. Aku harusnya berdoa agar suamiku selamat dalam pekerjaannya, dan pulang dengan membawa senyum hangat seperti tadi pagi.
Aku pun segera berbalik untuk kembali pulang ke rumah. Namun sebelum aku melangkah dari tempat ini, kulihat beberapa warga sekitar berjalan membawa sesuatu menuju ke arahku. Aku bingung melihatnya. Hingga akhirnya mereka berteriak ke arahku dengan panik.
¨Bu Ahmad! Bu! Ini Pak Ahmad!¨
Suamiku? Ada apa mereka menyebut nama suamiku? Aku bingung mendengar teriakan mereka. Hingga akhirnya aku beranjak menghampiri mereka dan mendapati sesuatu yang mengguncangkan jiwaku.
¨Apa ini? Bagaimana bisa?¨ Aku terkejut melihat apa yang dibawa oleh para warga tersebut di hadapanku. Jenazah suamiku yang sudah tidak bernyawa. Ya, dia ditemukan tewas dan terdampar oleh mereka di pantai sebelah selatan beserta perahunya yang hancur. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Bukankah suamiku baru saja pergi? Bagaimana mungkin tiba-tiba dia bisa tewas dan terdampar dengan cepat di tempat yang jauh? Lantas, siapa yang bersamaku tadi?
TAMAT
Thank you bro udah baca
BalasHapusOpeningnya menarik, ada pengulangnan pola "blablabalbla biasanya ... Padahal, blabalabla."
BalasHapusTwistnya kali ini gak ketebak XD
Cuma ngerasa agak aneh di bagian kalimat ini: "Di jam-jam seperti ini, suamiku biasanya tertidur pulas hingga siang hari menjelang setelah lelah melaut semalaman" Nggak rancu sih, cuma rada nggak sreg aja penggunaan kata 'menjelang' yang diikuti 'setelah'