Simian (Episode 2)

Rumah sakit Bhakti Putra. Di rumah sakit mewah inilah paman Desi bekerja sebagai dokter. Bara dan Desi yang hendak mencari tahu tentang kekuatan Bara, akhirnya tiba di sana. Mereka berdua langsung menemui sang dokter yang berada di ruangannya untuk menanyakan masalah tersebut.

"Halo, Om Rian," sapa Desi pada pamannya.

Dokter Rian terkejut melihat kedatangan keponakannya. "Desi? Ada apa nih? Kok tumben ke sini?"

"Hehehe. Sekali-sekali lah, Om, main ke sini. Kan udah lama Desi gak gangguin Om kerja."

"Hahh, kebiasaan. Kamu ini bandelnya gak ilang-ilang, ya."

Desi tertawa mendengar ucapan pamannya.

Dokter Rian kemudian menatap Bara yang berdiri di samping keponakannya. "Siapa ini? Pacarmu, Des?" tanyanya, yang langsung membuat Desi dan Bara terkejut malu.

"Apaan? Bukan lah, Om. Ini sahabat aku. Teman sekelas juga." Desi langsung mengklarifikasi. "Namanya Bara. Kenalin Bar, inilah Om gue, namanya Om Rian."

"Apa kabar, Dok," sapa Bara pada Dokter Rian.

"Panggil saya Om aja. Ayo silakan duduk." Dokter Rian mempersilakan. "Terus, sekarang kalian mau apa ke sini?"

"Gini, Om. Sebenarnya kita punya masalah nih yang sangat serius saat ini. Dan kita mau menanyakan sesuatu yang menjadi penyebab dari masalah serius ini sama Om," jelas Desi.

Dokter Rian sontak penasaran. "Masalah apa itu?"

Desi dan Bara kemudian saling memandang. Keduanya lalu terdiam sembari menghela napas lesu.

"Kita habis membunuh orang, Om," ucap Desi, yang sontak membuat Dokter Rian terkejut.

"Apa? Membunuh orang?"

***

Di jalan tempat tragedi mengerikan saat itu terjadi. Kini telah dipenuhi oleh banyak polisi yang melakukan penyidikan terhadap jasad Bos berandal yang tewas dibunuh Bara.

Seorang Detektif Kepolisian yang sedang melakukan penyelidikan, tampak sibuk menanyakan keterangan kejadian pada seorang saksi mata yang melaporkan kejadian itu. "Kapan Bapak menemukan jasad ini?" tanyanya pada pria pelapor tersebut.

"Ya tadi siang itu. Pas saya mau naik ke mobil saya ini, kok tahu-tahu mobil saya jadi remuk begini dan ada orang mati mengerikan itu," jelas Pria tersebut.

Detektif itu terdiam menanggapi keterangannya. Dia menatap datar si jasad, dan kemudian menghampirinya.

"Gimana, Jon? Apa yang kamu dapat?" tanyanya pada rekannya bernama Joni yang sedang memeriksa jasad mengerikan itu.

"Saya tidak menemukan petunjuk kenapa mayat ini bisa tewas seperti ini, Pak," jawabnya, heran. "Kepala orang ini bagai dihantam batu raksasa hingga hancur. Jika dia ditabrak oleh kendaraan yg setara sangat berat, tentu kondisi tubuh lainnya akan ikut remuk. Tapi ini tidak. Badannya masih cukup bagus dan seperti tak ada hantaman. Tapi sebaiknya, kita tunggu hasil pemeriksaan forensiknya."

Detektif itu terdiam memikirkan hal tersebut. "Jadi kesimpulannya, dia dibunuh," ucapnya kemudian.

"Jika dia dibunuh. Apa yang digunakan pembunuh itu untuk membuat orang ini mati seperti ini?" tanya Joni, bingung.

Sang Detektif tersenyum sinis mendengar pertanyaan itu. "Sesuatu yang luar biasa pastinya," timpalnya seraya beranjak pergi dari sana.

***

"Apa maksud kamu?" tanya Dokter Rian yang terkejut mendengar pernyataan Desi barusan. "Gimana ceritanya kalian membunuh orang?"

"Sebenarnya saya yang membunuh, Om. Bukan Desi," terang Bara.

"Tapi karena Desi ada di TKP, jadi Desi juga terlibat, Om. Sebagai saksi mata," lanjut Desi. "Tapi Desi gak mau sahabat Desi ini ditahan."

Dokter Rian kemudian memandang Bara dengan wajah geram. "Wah, kamu ini mau menjerumuskan keponakan saya, ya?" Dokter Rian lalu bangkit sambil menggebrak mejanya. "Saya gak akan biarin keponakan saya ini berteman sama kriminal kayak kamu!"

"Ma-Maafin saya, Om. Saya gak bermaksud begitu." Bara langsung ketakutan melihat kemarahan Dokter Rian.

"Om! Bara gak salah sebenarnya. Dia anak baik-baik, Om," ujar Desi, membela Bara.

"Gak salah gimana? Dia udah membunuh orang gini. Kamu gak boleh membelanya, apalagi berteman dengan dia lagi. Nanti Om bilangin ke papamu."

"Jangan, Om. Papa gak boleh tahu. Beneran kok, Bara sebenarnya gak salah. Dia cuma gak sengaja membunuh. Lebih baik, Om tenang dan duduk dulu. Biar Desi jelasin semuanya," ujar Desi, yang akhirnya berhasil membuat amarah Dokter Rian sedikit mereda.

"Jadi gini..." Desi mulai menceritakan semua kejadian mencengangkan yang telah mereka berdua alami sepulang sekolah ini. Dokter Rian yang mendengarnya tampak shock dan tak mampu percaya dengan penjelasan itu. Namun begitu, Desi akhirnya berhasil meyakinkannya.

"Gila! Kamu ini emang nakal banget sih, Des? Pakai cari masalah segala. Mau sok jagoan kamu?" hardik Dokter Rian pada keponakannya itu.

"Maaf, Om. Desi menyesal. Desi janji gak bakal berbuat gitu lagi," ujar Desi, menyesali perbuatan yang sudah dilakukannya.

"Hahh, Om pengen sekali ngelaporin ini ke Papamu."

"Jangan, Om! Jangan! Desi bisa dihukum berat sama Papa."

"Biarin. Habis kamu nakalnya udah kelewatan."

Desi hanya tertunduk muram mendengar omelan pamannya.

"Dan kamu, Bar. Hal ini cukup tidak masuk akal sebenarnya. Melihat tubuhmu yang kurus seperti ini, bisa melakukan hal seperti itu," ucap Dokter Rian pada Bara. "Tapi adrenalin tinggi terkadang bisa membuat orang melakukan hal luar biasa. Dan dalam hal ini, kamu juga tidak bisa mengendalikan emosimu. Berarti energimu sedang sangat tinggi. hmm..." Dokter Rian berpikir keras.

"Apa gak sebaiknya diperiksa aja, Om? Dicek sel darahnya gitu. Mungkin aja Bara ini jadi mutan kayak di film X-Men," ujar Desi, berlebihan.

"Kamu ini, ya. Kebanyakan nonton film kartun."

"Itu bukan kartun kali, Om."

"Tapi kan ada versi kartunnya."

"Iya juga sih, Om. Eh? Kok Om tahu?"

"Om kan ngoleksi DVD-nya."

"Hadeh. Berarti Om sendiri yang kebanyakan nonton kartun."

"Sudahlah!" Dokter Rian menghentikan perdebatannya. Sementara, Bara heran menyaksikan tingkah mereka berdua.

"Baiklah, Bar. Biar saya ambil darah kamu untuk saya teliti," ucap Dokter Rian pada Bara.

Dokter Rian lantas mengambil alat suntik guna mengambil darah Bara. Dia meminta Bara menjulurkan lengannya, dan bara langsung menjulurkan lengan kirinya.

Ketika Dokter Rian akan melakukan pengambilan darah pada lengan itu, dia melihat ke arah telapak tangan Bara. Ada sesuatu yang sangat mencolok perhatiannya.

"Ini kan..." Dokter Rian mengangkat telapak tangan Bara dan memperhatikakannya.

"Kenapa, Om?" tanya Bara, penasaran.

"Garis tanganmu ini," jawab Dokter Rian.

Desi pun turut penasaran. "Kenapa dengan garis tangan Bara, Om?"

Dokter Rian memperlihatkan garis telapak tangan Bara pada Desi. Terlihat bahwa garis tangan itu tampak lurus melintang dari ibu jari ke arah kelingking. "Lihat pola garis tangan lurus tidak putus ini."

"Wah. Bisa lurus gitu, ya." Desi takjub.

"Ini dinamakan Garis Simian. Garis tangan ini menyatukan garis hati dan pikiran. Menjadikan pemilik garis tangan ini orang yang keras kepala dan pemarah, sangat mudah tersinggung juga, namun sangat simpatik. Mungkin ini yang menyebabkan kamu tidak bisa mengendalikan emosimu yang sangat tinggi itu, Bar," terang Dokter Rian pada Bara.

Bara mengangguk-angguk paham. "Jadi begitu, Om. Saya baru tahu," tanggapnya.

Dokter Rian lalu melanjutkan penjelasannya. "Garis tangan seperti ini sangat langka. Hanya sedikit orang di dunia ini yang memiliki garis tangan seperti ini. Asal kalian tahu, garis tangan seperti ini cenderung dimiliki oleh kera. Karena itu garis ini dinamakan Simian."

"Wah. Berarti Lu monyet dong, Bar?" ujar Desi, meledek Bara.

Bara sontak tak terima. "Enak aja. Ya Lu tuh."

Desi tertawa lucu melihat kekesalan Bara.

"Sudah sudah! Jadi sepertinya mitos yang berkembang memang benar," lanjut Dokter Rian lagi, membuat Bara dan Desi penasaran mendengarnya.

"Mitos? Mitos apa Om?" tanya Desi.

Dokter Rian menatap Bara dengan serius. "Dengan tangan mana kamu membunuh orang itu, Bar?"

Bara berpikir. "Kalau gak salah ingat ya dengan tangan kiri ini, Om."

"Berarti benar."

Bara bingung. "Kenapa, Om?"

"Karena menurut mitos yang berkembang, pemilik Garis Simian sangat dilarang memukul orang dalam keadaan marah dengan tangan kiri."

"K-Kenapa memangnya, Om?"

"Karena orang yang mereka pukul itu bisa mati."

Bara dan Desi tertegun mendengarnya. Mereka mulai memahami sesuatu.

"Garis tangan kera, pukulan mematikan kalau marah. Berarti tangan kiri Lu punya kekuatan setara King-Kong pas Lu marah, Bar. Itu sebabnya dahsyat banget," ujar Desy pada Bara.

"Apaan sih, Des. Dari tadi ngaco mulu omongan Lu," timpal Bara, kesal.

"Yee, dibilangin juga. Kalau kayak gini. Lu berarti punya kekuatan super. Macem Hulk. Lu bisa jadi pahlawan super kalau marah, Bar."

Bara mengernyitkan dahi mendengar omongan sahabatnya itu. "Lu kebanyakan nonton film."

"Sudahlah. Bagaimanapun, kekuatan mengerikan itu adalah anugerah. Itu akan menjadi ujian dari Tuhan untukmu, Bar. Mendapat titipan kekuatan yang besar seperti itu, yang mana dipengaruhi oleh emosimu juga, itu akan sangat berat. Jadi, Bar, kamu memiki tanggung jawab menjaga dan mengendalikan emosimu itu. Jangan mudah marah. Karena apapun yang dilakukan dalam keadaan marah, tidak akan baik," ujar Dokter Rian pada Bara.

Bara mengangguk paham menimpali nasihat Dokter Rian.

"Tapi bagaimanapun, saya akan meniliti sel-selmu. Mungkin ada faktor lain yang menjadikanmu kuat seperti itu. Karena sebagai dokter, saya tentu tidak akan begitu saja memercayai mitos." Dokter Rian pun melanjutkan pengambilan darah Bara.

***

Di sebuah ruangan kecil bercahaya remang-remang dari sebuah lampu pijar yang agak pendar. Empat orang pria dan satu wanita berpakaian serba hitam duduk melingkar dalam posisi bersila.

"Kapan kita akan mulai?" tanya salah seorang dari mereka yang berkacamata hitam.

Pria berjenggot serta berambut panjang menimpali dengan senyuman sinis. "Bersabarlah, Saudaraku. Tidak akan lama lagi."



BERSAMBUNG (In Syaa Allah)

Komentar

  1. Balasan
    1. Ditunggu ya, tapi In syaa Allah, hehehe XD Thanks udah baca

      Hapus
  2. "kita habis bunuh orang, om" what a way to start explaining yourself, si desi ini lugas banget orangnya XD

    BalasHapus
  3. mAMPIR ke blog sang biru, ijin baca-baca ya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simian (Episode 1)

Kamisan #3 Season 3 : Pria Mawar

Kamisan #2 Season 3 : Suamiku